KETIKA
BERKARIER MENJADI PILIHAN
Jujur
saja, saya sempat galau – memilih antara menjadi work Mom atau full Mom?
Sampai akhirnya, saya bertemu dengan Susan. Ia adalah salah satu model yang
dijadikan icon bisnis rias wisuda saya dan teman-teman (Lulu & Suci). Susan
sebetulnya adalah mahasiswi saya yang telah lulus dan sukses berkarier dalam
bisnis MLM Oriflame. Ketika bertemu Susan, saya sendiri sempat tertarik dan
mendaftar menjadi konsultan Oriflame, walaupun akhirnya saya memutuskan untuk
menunda (atau mungkin berhenti) karena ingin fokus dulu dengan bisnis nulis dan
travel yang sedang dijalankan saat ini.
Bercerita
tentang karier dan rumah tangga, Susan bilang: “Wanita seperti kita, Bu, agak
sulit memiliki pemikiran sederhana. Latar belakang kehidupan membentuk kita
jadi wanita yang dinamis dan ambisius (bukan sangat ambisius, ya :p). Jadi, kita
tidak akan betah kalau jadi ibu rumah tangga biasa.” Kita yang dimaksud Susan
adalah kesamaan saya dengannya yang berasal dari keluarga kurang berada. Akibatnya,
kami berdua dari usia sangat muda sudah harus mau terjun ke dalam dunia bisnis
(walaupun kecil-kecilan) untuk mencari uang tambahan operasional keluarga
(bahkan sekolah).
Saya
merenungi ucapan Susan memang benar. Jiwa saya bersifat dinamis, pikiran dan
hati saya sangat menyukai tantangan. Hal yang utama, saya suka dengan kata ‘belajar’
dan ‘menimba banyak pengalaman’. Dan, dunia karier menjanjikan keduanya. Akhirnya,
saya pun memiliki kebulatan untuk tetap menjadi wanita karier walaupun sudah
berkeluarga.
Bersama Susan,
Direktur Oriflame
Tahun
2006, saya diangkat menjadi dosen tetap di sebuah perguruan negeri di Jakarta. Selama
menjadi dosen, timbul gejolak lain dalam diri saya, yaitu keinginan untuk
melebarkan sayap di bidang karier kepenulisan bukan di dunia kampus. Karenanya,
tahun 2007 saya mulai mengembangkan karier menulis saya lagi yang sempat vakum
sangat lamaaa ... sampai belasan tahun (hehe). Sampai sekarang, alhamdulillaah
sudah puluhan buku yang saya tulis, sebagian besar tulisan tentang pendidikan
IPA dan fisika (sesuai dengan latar belakang pendidikan saya). Selain di bidang
pendidikan IPA dan fisika, saya juga sebenarnya aktif dalam menulis skenario
dan tahun 2016 ini mulai merambah ke novel (insya Alloh akan segera launching).
Ketika Menjadi Narasumber dalam Sebuah Workshop Kepenulisan
Pertanyaan
yang paling sering saya terima ketika saya aktif berkarier adalah:
*
Sejauh apa karier yang ingin saya capai?
*
Bagaimana mengatur waktu antara karier dan keluarga?
*
Apakah pasangan mendukung karier yang saya pilih?
Karier yang Ingin
Saya Capai
Hemm
... agak sulit saya jelaskan. Yang pasti, sejauh saya masih mampu berkarya.
Target berkarier dalam hidup saya bukanlah semata uang, tapi kalau bisa
berkontribusi nyata dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat di lingkungan
saya. Inilah yang membuat saya punya mimpi besar – menjadi kepala desa di desa
saya. Saya sering melontarkan mimpi saya ini sebagai sebuah candaan, tapi
sebenarnya itu bukan candaan. Asli salah mimpi besar saya adalah menjadi kepala desa suatu hari ketika saya sudah
memiliki kemapanan ekonomi yang tinggi.
Mengatur Waktu antara
Karier dan Keluarga
Yuhuu
... ini juga sulit saya jawab karena sampai saat ini saya juga kadang-kadang masih
suka kedodoran dalam mengatur waktu. Hanya saja, saya dalam keseharian
menerapkan sistem “blocking time”,
yaitu memblok hari. Senin-Jum’at saya full-kan untuk kegiatan kampus dan bisnis,
Sabtu saya gunakan untuk kegiatan meet up
entah dengan teman, mitra kerja, maupun calon klien. Nah, barulah di hari
Minggu saya gunakan full untuk gathering
family. Dilihat dari hari mungkin waktu buat keluarga sangat sedikit ya,
tapi sebenarnya tidak sesedikit itu. Karena setiap hari sebelum bekerja dan
pulang kerja, waktu yang ada saya coba gunakan untuk family time. Ditengah kesibukan saya sekarang pun, saya masih
menyempatkan diri untuk masak dan menemani anak saya belajar :D
Dukungan Pasangan
terhadap Karier
Pernikahan
memang sempat membuat saya stress
berat karena perbedaan pandangan dengan suami. Suami saya lahir dari keluarga
yang menempatkan wanita sebagai pelayan suami – sulit sekali mengubahnya. Saya
sendiri memiliki pemikiran kalau istri sudah membantu suami mencari nafkah
(bahkan mungkin penghasilannya lebih banyak daripada yang diperoleh suami),
kenapa tidak suami juga mau berbagi pekerjaan rumah tangga? Saya menyebutnya
sebagai prinsip rumah tangga modern.
Tapi
kemudian, setelah mendengar perkataan salah satu teman baik saya yang bilang: “Mimpi
sendiri harus diraih sendiri, jangan bergantung pada orang lain.” Kalimat yang diucapkan teman saya ini melecut
hati dan pikiran saya untuk bersikap independent
(mandiri). Saya mencoba bersikukuh dengan keinginan saya untuk berkarier sampai
akhirnya pasangan saya pun luluh. Bahkan konon katanya, di luar sepengetahuan
saya, suami saya suka membanggakan prestasi-prestasi yang saya capai (info dari
teman dan saudara :p).
Pilihan
berkarier bagi wanita yang berkeluarga dipastikan berat. Banyak masalah yang harus
dihadapi dan perkataan nyinyir yang mericuhi. Tapi, jika kita yakin dengan
pilihan hidup kita sendiri – why not
untuk terus dijalani. Cukup katakan saja: This
is my life !
--- Selamat Berkarya ---
EmoticonEmoticon